Pada tahun 1890 seorang pria bernama Salam tinggal di Serawak Malaysia dan mempunyai abang bernama Amran. Salam telah menjalin hubungan secara diam-diam dengan gadis bernama Rukiah. Hubungan ini tidak diketahui oleh orangtua Salam. Rukiah adalah seorang gadis baik dan berparas cantik.
Ayah Salam ingin menikahkan Amran dengan seorang gadis. Pada suatu hari ia bertanya pada Amran apakah dia ingin menikah. Karena dilihatnya Amran sudah "berumur". Amran menjawab, "Kalau Ayah hendak menikahkan aku, terserah pada Ayah saja,". Konon pada jaman dahulu, pasangan hidup diatur oleh orangtua. Ayahnya kembali bertanya pada Amran, "Siapa yang kau suka untuk menjadi istrimu?". "Terserah siapa yang Ayah suka untuk menjadi istriku, aku ikut saja,". Pilihan satu-satunya gadis yang baik dan cantik di daerah Serawak ialah Rukiah.
Singkat cerita, dinikahkanlah Amran dengan Rukiah. Saat pernikahan mereka, Salam menjadi putus asa. Beberapa waktu kemudian Salam menjumpai Rukiah, dan berkata, "Kalau memang abangku yang menjadi jodohmu, ya sudah, apa yang bisa kita perbuat. Itu sudah kemauan orang tua. Daripada nantinya aku melihat kau bersenang-senang dengan abangku, lebih baik aku pergi dari sini,". Konon Salam melemparkan batu sebanyak tiga buah di tanah Serawak. Ia berkata, "Kalau timbul tiga buah batu yang kulempar di tanah Serawak ini, barulah aku akan pulang,".
Saat pementasan di daerah Medan Labuhan, dengan kehendak Tuhan, Salam bertemu dengan Salmah. Salmah adalah kembang di Medan Labuhan-Belawan. Ayah Salmah bernama H. Kasim. Ibu Salmah berhutang pada seorang keturunan India bernama Tambi namun ia tidak mampu membayar hutangnya. Lalu Tambi mengatakan pada orangtua Salmah, "Kalau memang hutang Anda tidak bisa terbayar, ya sudah,". Namun melihat hutangnya yang tidak terbayar maka H. Kasim kembali berkata pada Tambi, "Untuk mengikat erat persaudaraan bagaimana kalau Salmah saya kimpoikan dengan Anda,".
Di saat acara perkimpoian Salmah dengan Tambi, pementasan sandiwara ini diundang untuk mengisi acara tersebut. Salam memainkan biola sambil menyanyikan sebuah lagu yang berjudul "Kau adalah Mas Merahku". Isi bait dari lagunya seperti ini:
Sayang Mas Merah jangan merajuk
Mari kemari abang nan bujuk
Kalau ada penawar yang sejuk
Racun kuminum haram tak mabuk
Sayang selasih dibawa dulang
Mekar satu di atas peti
Sayang kekasih Mas Merahku sayang
Biar Bang Salam membawa diri
Mendengar bait ini, Salmah langsung jatuh pingsan. Masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa Salmah adalah Mas Merah yang disebut Salam dalam lagunya. Salam kembali berputus asa dan kemudian pergi ke laut untuk menjadi nelayan di daerah Brandan.
Setelah melaut selama berbulan-bulan, Salam dapat melupakan Salmah. Namun Salmah tidak menyukai Tambi dan akhirnya mereka akhirnya bercerai.
Pulau Kampai awalnya adalah hutan yang lebat. Dan tidak seorang pun dari masyarakat Belawan yang berani membuka lahan hutan Pulau Kampai tersebut. Orang yang dituakan di daerah ini adalah H. Makminias. H. Makminias berkata bahwa ia tidak berani membuka hutan ini. "Yang berani adalah abangku yaitu H. Kasim," tambahnya. H. Kasim adalah ayah Salmah yang tinggal di Belawan.
Maka H. Makminias menjemput H. Kasim beserta anaknya Salmah. Namun, di tengah perjalanan mereka dirampok penyamun yang dikenal dengan Pendekar Nayan (Pendekar Senayan). Mereka diikat di tiang layar. Salmah dibawa ke tempat para penyamun dan ia berteriak meminta pertolongan.
Saat itu Salam bersama temannya Husein sedang melaut di kawasan itu. Mendengar teriakan seorang wanita, Salam hendak menolong namun dihalangi oleh Husein. Husein berkata pada Salam, "Aku tidak berani kesana. Daerahnya sangat angker. Biasanya orang yang pergi kesana pasti tidak bisa kembali pulang,".
Namun keinginan Salam untuk menolong wanita tersebut tidak bisa terhalangi oleh temannya Husein. Akhirnya terjadilah perkelahian antara Pendekar Nayan dengan Salam. Akhirnya Pendekar Nayan kalah dan bertemulah Salam dengan Salmah. H. Kasim yang awalnya tidak menyukai Salam akhirnya berbaik hati.
Salam pergi ke mana saja dengan membawa biola. Dan ia selalu menyanyikan lagu "Kau adalah Mas Merahku". Di daerah itu ada seorang tauke ikan yang merantau dari Malaysia ke Pulau Kampai bernama Tu Awang Muhammadin. Ia membeli ikan-ikan dari para nelayan dan dikenal dengan sifatnya yang baik hati.
Salam yang dulunya menjual ikan di Pulau Sembilan dan Brandan, kini hanya menjual ikannya di Pulau Kampai. Tanpa diketahui Salam, Tu Awang Muhammadin selalu memperhatikan gelagat Salam yang selalu termenung. Ia juga melihat hubungan Salam dengan Salmah yang sudah serius.
Tu Awang Muhammadin menanyakan kepada Salam, "Lam, apakah kau mau menikah? Jangan hanya pergi ke laut saja. Kalau memang engkau mau, akan kunikahkan kalian,".
Salam menjawab, "Terserah Tu Awang saja,". Kemudian Tu Awang kembali menanyakan kepada Salam, "Siapa yang jadi pilihanmu?". Pilihan jatuh pada Salmah.
Mereka menikah selama sepuluh tahun dan tidak mempunyai keturunan. Suatu hari keduanya terkena penyakit cacar. Pada tahun 1920 tepatnya pada hari Jumat pukul 05.00 pagi Salam meninggal, dan disusul oleh Salmah pada pukul 06.00 pagi. Sebelum meninggal Salam berpesan kepada Husein, temannya, "Kalau nanti aku meninggal tolong kuburkan aku berdekatan dengan kuburan istriku, dan tanamkan bunga tanjung di atas nisan kuburan kami berdua,". Bunga tanjung yang ditanam adalah kisah perjalanan cinta Salam sebagai tanda antara Semenanjung Malaysia, Medan Labuhan dan Pulau Kampai.
Hal ini diceritakan Husein kepada teman-temannya, dan cerita ini secara turun-temurun dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sejarah terjadinya Pulai Kampai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar